JAKARTA - Dulu, petani dan cangkul adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Namun kini, citra itu mulai berubah, terutama di kawasan Jatiluwih, Bali. Di tengah hamparan sawah hijau yang menjadi ikon pariwisata dan pertanian organik, tiga anak muda tampil berbeda: mereka datang ke sawah bukan dengan bajak atau sabit, melainkan membawa drone berbobot 50 kilogram.
Ketiga pemuda ini bukan hanya sekadar petani biasa. Mereka adalah generasi muda yang bertugas sebagai pilot drone pertanian yang beroperasi di bawah Manajemen Operasional Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih. Peran mereka bukan hanya membantu proses pertanian secara efisien, tetapi juga menjadi wajah baru pertanian modern yang berpadu dengan teknologi.
Drone Raksasa dan Petani Milenial di Sawah UNESCO
Salah satu drone yang mereka operasikan adalah DJI Agras T40, jenis drone khusus pertanian dengan ukuran besar dan kapasitas tangki mencapai 40 liter. Drone ini difungsikan untuk menyebarkan pupuk cair ke lahan sawah milik 547 petani di Jatiluwih yang tergabung dalam tujuh kelompok Subak—sistem irigasi tradisional yang telah diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO.
Tujuh kelompok Subak tersebut antara lain:
Subak Telabah Gede
Subak Besikalung
Subak Kedamian
Subak Gunungsari
Subak Umakayu
Subak Kesambi
Subak Umadatu
Drone dengan ukuran sebesar itu tentu tidak bisa dibawa sembarangan. Mobil pikap pun menjadi armada utama untuk mengangkutnya menuju lokasi persawahan. Setibanya di sawah, proses persiapan dilakukan, mulai dari pengecekan sistem, pengisian pupuk, hingga penyesuaian rute terbang yang akan dilalui.
Efisiensi Tinggi, Tenaga Hemat
Salah satu pilot drone, I Gede Rizky Saputra, mengungkapkan bahwa tugas mereka mencakup proses pemupukan sawah secara menyeluruh di kawasan Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Menurutnya, penggunaan drone mampu memangkas waktu kerja dan tenaga manusia secara signifikan, terutama di lahan yang luas dan kontur yang sulit dijangkau.
“Kalau pakai tenaga manual bisa habis seharian, sedangkan dengan drone, beberapa hektare bisa selesai dalam hitungan jam,” kata Rizky.
Selain kecepatan, keunggulan lain dari drone pertanian ini adalah presisi. Drone dapat menyebar pupuk secara merata dan tepat sasaran, sehingga mengurangi pemborosan pupuk sekaligus meminimalkan dampak lingkungan. Bagi petani, efisiensi ini berarti penghematan biaya dan tenaga, serta peningkatan hasil panen yang lebih stabil.
Teknologi dan Tradisi: Dua Hal yang Bisa Berdampingan
Kehadiran drone di tengah bentang sawah tradisional Jatiluwih menjadi simbol bahwa kemajuan teknologi tidak harus menggeser budaya lokal. Justru, perpaduan keduanya dapat menciptakan model pertanian baru yang adaptif terhadap zaman, tetapi tetap menjaga kearifan lokal.
Subak sebagai sistem irigasi warisan leluhur tetap dijaga keberlanjutannya, tetapi di sisi lain, teknologi seperti drone menjadi alat bantu untuk memperkuat produksi dan efisiensi. Kolaborasi ini menjadi contoh nyata bahwa transformasi pertanian bisa dilakukan tanpa meninggalkan akar budaya.
Peluang dan Tantangan Generasi Muda di Pertanian
Apa yang dilakukan oleh Rizky dan rekan-rekannya memberi gambaran bahwa pertanian tidak lagi identik dengan pekerjaan fisik yang melelahkan dan kotor. Justru, dengan dukungan teknologi, sektor ini semakin menarik bagi generasi muda.
Namun, tantangan tetap ada. Tidak semua petani langsung menerima perubahan ini dengan tangan terbuka. Diperlukan pendekatan, edukasi, serta pelatihan agar semakin banyak petani yang mau dan mampu mengoperasikan teknologi baru, termasuk drone.
Hal ini pun menjadi peluang besar bagi anak-anak muda daerah yang ingin berkarya tanpa harus meninggalkan kampung halamannya. Pertanian modern membutuhkan tenaga terampil, bukan hanya dalam bercocok tanam, tapi juga dalam teknologi, data, dan manajemen pertanian.
Dari Jatiluwih untuk Inspirasi Nasional
Jatiluwih, yang dikenal sebagai salah satu kawasan wisata pertanian terpopuler di Bali, kini menambahkan satu lagi daya tarik: inovasi pertanian digital yang dipelopori anak muda. Praktik pemupukan menggunakan drone ini bisa menjadi role model bagi daerah-daerah lain di Indonesia yang sedang mencari cara baru untuk meningkatkan hasil pertanian mereka tanpa mengorbankan efisiensi dan keberlanjutan.
Langkah kecil ini mungkin baru dilakukan oleh tiga petani muda di satu desa, namun dampaknya bisa meluas jika diterapkan secara kolektif. Di tengah tantangan krisis pangan global dan perubahan iklim, pendekatan seperti ini adalah jawaban dari generasi masa depan yang siap bertani dengan cara yang cerdas.