JAKARTA - Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathani, memperingatkan potensi pertumbuhan bibit siklon pada periode Natal dan Tahun Baru 2025/2026.
Daerah rawan meliputi perairan selatan Indonesia hingga Nusa Tenggara Timur, Laut Arafura, dan perairan selatan Papua.
Faisal menekankan, bibit siklon ini berpotensi berkembang menjadi siklon tropis yang membawa curah hujan tinggi, gelombang laut besar, dan risiko bencana hidrometeorologi. Warga di daerah rawan diminta meningkatkan kewaspadaan sejak dini.
Wilayah Rawan Terdampak
Beberapa provinsi yang perlu waspada terhadap potensi dampak langsung maupun tidak langsung siklon tropis Nataru meliputi Bengkulu, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa, Bali, NTB, Maluku, serta Papua Selatan dan Tengah.
Faisal mengingatkan bahwa puncak musim hujan berada pada Januari–Februari 2026. Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah daerah perlu menyiapkan mitigasi sejak sekarang, termasuk infrastruktur dasar dan jalur evakuasi.
Bibit Siklon dan Anomali Atmosfer Global
BMKG menjelaskan, bibit siklon merupakan fase awal pembentukan siklon tropis dengan kecepatan angin 15–34 knot. Jika berkembang menjadi siklon tropis, kecepatan angin dapat mencapai 35 knot atau lebih, disertai hujan lebat ekstrem.
Fenomena ini dipengaruhi anomali atmosfer global, seperti La Niña, El Niño, Indian Ocean Dipole, serta arus dingin dari Siberia. Kondisi ini menyebabkan cuaca semakin tidak stabil di wilayah Indonesia menjelang Nataru.
Dampak Banjir Bandang dan Longsor Terakhir
Pakar hidrologi UGM, Prof Agus Maryono, menilai banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pekan lalu dipicu kombinasi faktor meteorologi, geografi, geologi, dan hidrolik. Kondisi saluran air yang tersumbat memperparah limpasan air hujan ke permukaan.
Pembalakan hutan dan lahan gundul juga meningkatkan volume runoff, sehingga banjir menjadi lebih besar. Agus menekankan bahwa faktor lingkungan harus diperhatikan agar bencana serupa dapat dicegah.
Strategi Penanganan Bencana dan Evakuasi
Agus mengingatkan pemerintah untuk memprioritaskan evakuasi korban saat ini. Penanganan darurat harus fokus pada penyelamatan jiwa sebelum melanjutkan pembangunan infrastruktur pasca-bencana.
Ia menekankan pentingnya membangun fasilitas publik dan perumahan dengan memperhatikan risiko hidrometeorologi. Proses ini harus berbasis lingkungan agar lebih aman dan berkelanjutan.
Penerapan Konsep Ekohidrolik
Sebagai solusi jangka panjang, Agus menyarankan penerapan ekohidrolik. Sungai yang dilebarkan dan ditanami tanaman cepat tumbuh dapat menahan sedimen dan menstabilkan lereng sungai.
Pendekatan ini diyakini mampu mengurangi risiko banjir bandang dan longsor, sekaligus menjaga kelestarian ekosistem sungai. Strategi ini menjadi bagian dari mitigasi bencana berkelanjutan di Indonesia.
Antisipasi Infrastruktur dan Publik
BMKG meminta pemerintah daerah memastikan kesiapan fasilitas publik menghadapi cuaca ekstrem. Drainase, jembatan, jalur evakuasi, serta puskesmas harus diperiksa dan diperkuat sebelum puncak musim hujan.
Masyarakat diimbau memantau peringatan dini secara rutin dan mengikuti arahan pemerintah untuk mengurangi risiko. Kesiapsiagaan sejak awal menjadi kunci keselamatan selama musim hujan dan Nataru.
Waspada dan Siaga
Kombinasi faktor meteorologi global dan lokal membuat cuaca Indonesia menjelang Natal-Tahun Baru rawan ekstrem. Siklon tropis berpotensi menimbulkan banjir, longsor, dan gelombang tinggi di sejumlah provinsi.
Dengan koordinasi pemerintah, penerapan mitigasi berbasis lingkungan, dan kewaspadaan masyarakat, dampak bencana dapat diminimalkan. BMKG dan pakar menegaskan bahwa kesiapan dan respons cepat menjadi kunci keselamatan warga.