JAKARTA - Pendekatan pelonggaran moneter Indonesia kembali menjadi sorotan internasional setelah OECD menilai langkah penurunan suku bunga masih memiliki ruang cukup besar untuk dilanjutkan. Kajian lembaga tersebut menunjukkan bahwa proses transmisi kebijakan belum berlangsung optimal, sehingga ruang akomodatif dinilai masih relevan.
Ruang Pelonggaran Moneter Masih Terbuka Lebar Menurut OECD
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyoroti bahwa Bank Indonesia masih memiliki kapasitas kebijakan untuk menurunkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin lagi. Penilaian ini menjadi bagian dari laporan OECD Economic Outlook Volume 2025 Issue 2 yang dirilis pada Rabu, 3 Desember 2025.
Baca JugaLivin Fest 2025 Resmi Hadir di Bali, Bank Mandiri Angkat Potensi UMKM dan Industri Kreatif
Dalam laporan tersebut, OECD menyebutkan bahwa penurunan suku bunga sejak Agustus 2024 telah membuat BI rate bergerak dari 6,25% menjadi 4,75%. Penurunan ini dipandang sebagai bagian dari siklus pelonggaran yang berjalan secara bertahap namun tetap memerhatikan stabilitas ekonomi.
“Ada ruang bagi bank sentral untuk menurunkan suku bunga kebijakan lebih lanjut sekitar 50 basis poin menuju tingkat yang lebih akomodatif,” demikian pernyataan OECD dalam laporannya pada 3 Desember 2025. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa kondisi makro ekonomi Indonesia masih mendukung pintu relaksasi tambahan.
Pertumbuhan ekonomi yang tetap stabil disebut menjadi salah satu dasar pertimbangan lembaga tersebut. Selain itu, kesinambungan antara tren inflasi dan permintaan domestik juga memberikan ruang bagi kebijakan yang lebih longgar.
Meskipun begitu, OECD menekankan perlunya kehati-hatian karena penurunan suku bunga tidak otomatis mendorong peningkatan ekonomi secara instan. Proses transmisi kebijakan ke sektor keuangan disebut berjalan lebih lambat dari perkiraan.
Transmisi Kebijakan Dianggap Belum Optimal dan Kredit Masih Lambat
OECD menilai bahwa meskipun BI telah memangkas suku bunga sejak tahun lalu, penurunannya belum tercermin sepenuhnya pada suku bunga kredit perbankan. Penyaluran kredit juga menunjukkan tren yang masih jauh di bawah rata-rata pertumbuhan sebelum pandemi.
Perbankan dinilai masih berhati-hati dalam menyesuaikan harga dan profil risiko pinjaman. Di sisi lain, pelaku usaha disebut masih menahan ekspansi karena permintaan belum sepenuhnya stabil.
Imbal hasil obligasi korporasi pun disebut hanya turun secara marginal sejak awal penerapan pelonggaran. Faktor kehati-hatian investor menjadi salah satu alasan utama mengapa transmisi kebijakan bergerak lamban.
Pertumbuhan kredit tahun ini pun masih belum kembali ke level historis yang pernah dicapai beberapa tahun sebelum pandemi. Kondisi ini membuat pasar kredit belum mampu memberikan dorongan signifikan terhadap ekonomi.
Dengan keadaan tersebut, OECD beranggapan bahwa momentum pelonggaran belum memberikan dampak maksimal pada dunia usaha. Oleh karena itu, ruang pelonggaran tambahan dinilai masuk akal untuk menjaga daya dorong ekonomi tetap berlanjut.
Ekspektasi inflasi yang stabil turut membuat kebijakan akomodatif dianggap aman dalam jangka pendek. OECD melihat stabilitas inflasi selalu menjadi elemen penting bagi kepercayaan investor.
Sementara itu, permintaan domestik diproyeksikan berada di sekitar tren historis selama dua tahun mendatang. Hal ini menjadi dasar keyakinan bahwa pelonggaran tambahan tidak akan mengganggu keseimbangan ekonomi.
Risiko Inflasi dan Depresiasi Rupiah Diperhatikan OECD
Meskipun ruang pelonggaran dianggap terbuka, OECD tetap mengingatkan bahwa kebijakan Bank Indonesia harus berlandaskan pada pendekatan data-dependent. Pendekatan ini dinilai penting untuk menyeimbangkan kebutuhan pertumbuhan dengan kewaspadaan terhadap lonjakan harga.
Risiko inflasi terutama disebabkan oleh depresiasi rupiah yang terjadi sepanjang tahun 2025. Mata uang rupiah melemah sekitar 3% terhadap dolar Amerika sejak awal tahun.
OECD menyebut pelemahan tersebut terutama dipengaruhi oleh penyempitan selisih suku bunga antara Indonesia dan negara-negara maju. Kondisi ini membuat aliran modal asing lebih peka terhadap perubahan arah kebijakan di luar negeri.
Pasar keuangan global juga menghadapi tekanan dari pengetatan kebijakan moneter di beberapa negara besar. Dampak tersebut turut menimbulkan volatilitas yang dirasakan Indonesia sejak kuartal pertama 2025.
Dengan kondisi itu, OECD menilai BI tetap harus mempertahankan kewaspadaan tinggi dalam menetapkan rentang pelonggaran. Kehati-hatian ini diperlukan agar kebijakan yang longgar tidak menciptakan tekanan tambahan pada nilai tukar.
Selain itu, risiko imported inflation juga diperkirakan dapat meningkat apabila depresiasi berlangsung lebih lama. Oleh sebab itu, OECD mengingatkan bahwa stabilitas nilai tukar tetap menjadi fondasi kebijakan moneter yang prudent.
Meski begitu, OECD menganggap kebijakan Indonesia sejauh ini masih berada pada jalur yang tepat. Pengelolaan risiko yang dilakukan BI dinilai mampu menjaga stabilitas makro ekonomi secara keseluruhan.
Keseimbangan antara Dorongan Pertumbuhan dan Stabilitas Makro
Dalam analisis OECD, BI diharapkan dapat menyeimbangkan kebutuhan mendukung pemulihan ekonomi dengan kewaspadaan terhadap tekanan dari pasar global. Keseimbangan tersebut dinilai penting agar kebijakan moneter tidak memberikan efek samping yang membahayakan stabilitas harga.
Pelaku usaha disebut masih membutuhkan dukungan likuiditas untuk memulihkan aktivitas. Di saat yang sama, kepercayaan investor harus tetap dijaga melalui stabilitas nilai tukar dan suku bunga.
Menurut OECD, proses pemulihan ekonomi Indonesia berjalan relatif kuat dibanding beberapa negara emerging market lainnya. Namun, tantangan jangka menengah masih ada, terutama terkait ketergantungan pada stabilitas eksternal.
Dengan mempertimbangkan seluruh faktor tersebut, OECD menyimpulkan bahwa BI memiliki ruang pelonggaran tambahan tetapi harus mengeksekusinya secara berhati-hati. Kebijakan moneter harus selalu menyesuaikan dengan dinamika data terbaru.
Indonesia dianggap berada dalam fase penting dalam menentukan arah kebijakan moneter tahun depan. Pilihan pelonggaran yang terukur bisa mendukung stabilitas sekaligus pertumbuhan.
Nathasya Zallianty
variaenergi.com adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Fluktuasi Rupiah Dipengaruhi Kebijakan The Fed dan Pelonggaran Suku Bunga BI Tahun 2025
- Kamis, 04 Desember 2025
Harga Emas UBS dan Galeri24 Turun, Tren Investasi Logam Mulia Masih Menurun
- Kamis, 04 Desember 2025
Update Harga Emas Antam 4 Desember 2025, Semua Ukuran Alami Penurunan
- Kamis, 04 Desember 2025
Update Harga Emas Perhiasan 4 Desember 2025, Semua Karat Alami Kenaikan
- Kamis, 04 Desember 2025
Harga Emas Antam dan Galeri 24 di Pegadaian Hari Ini Menunjukkan Pergerakan Dinamis
- Kamis, 04 Desember 2025
Berita Lainnya
Livin Fest 2025 Resmi Hadir di Bali, Bank Mandiri Angkat Potensi UMKM dan Industri Kreatif
- Kamis, 04 Desember 2025
PNM Perkuat Loyalitas Karyawan Melalui Program Penghargaan Perjalanan Internasional
- Kamis, 04 Desember 2025
Terpopuler
1.
Kemenkes Inventarisasi Fasilitas Kesehatan Rusak Banjir Langkat
- 04 Desember 2025
2.
Gibran Pastikan Distribusi Bantuan dan Infrastruktur Dipercepat
- 04 Desember 2025
3.
Gibran Tegaskan Warga Sumatera Tidak Sendirian Pascabencana
- 04 Desember 2025
4.
Indonesia dan Brasil Jajaki Kolaborasi Riset Sains Tinggi
- 04 Desember 2025
5.
Menperin Dorong Insentif Otomotif, Selamatkan Industri Kendaraan
- 04 Desember 2025








_(2).jpg)


