Transisi Energi Harus Hasilkan Nilai Nyata bagi Tenaga Kerja

Jumat, 01 Agustus 2025 | 09:42:36 WIB
Transisi Energi Harus Hasilkan Nilai Nyata bagi Tenaga Kerja

JAKARTA - Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Prahoro Yulijanto Nurtjahyo, menyampaikan bahwa proses transisi energi harus memberikan dampak nyata bagi masyarakat, bukan sekadar menjadi wacana. Hal ini disampaikan dalam acara Energi Mineral Festival 2025 yang digelar di Hutan Kota by Plataran, Jakarta, pada Kamis, 31 Juli 2025.

Menurut Prahoro, transisi energi harus menciptakan nilai ekonomi yang dapat diterjemahkan dalam bentuk proyek-proyek riil dan penyerapan tenaga kerja. Ia menegaskan bahwa tanpa proyek nyata, wacana transisi energi hanya akan menjadi narasi kosong yang tidak membawa manfaat langsung bagi masyarakat. "Kalau tidak ada proyek, ya tidak ada pekerjaan. Kita bisa saja membuat narasi seindah apa pun, tapi kalau tidak diwujudkan, maka itu tidak akan berdampak," ungkapnya.

Ketersediaan Tenaga Kerja Terampil Masih Terbatas

Salah satu contoh konkret yang diangkat oleh Prahoro adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) oleh perusahaan New Wheel. Meski proyek ini menjanjikan dari segi lingkungan dan ekonomi, pelaksanaannya terkendala oleh minimnya tenaga kerja yang memiliki keahlian instalasi panel surya. "Kita lihat di lapangan, cari teknisi panel surya yang benar-benar kompeten itu sulit. Akibatnya, proyek tidak jalan karena SDM belum siap," ujar Prahoro.

Kondisi ini menjadi sorotan penting dalam agenda transisi energi nasional. Kebutuhan akan tenaga kerja terampil di bidang energi terbarukan tidak sebanding dengan ketersediaannya saat ini. Ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara perencanaan pembangunan infrastruktur energi hijau dan kesiapan sumber daya manusianya.

Kolaborasi Lintas Sektor Jadi Kunci Sukses Transisi

Tantangan dalam transisi energi tidak hanya terbatas pada penguasaan teknologi, melainkan juga pada penguatan kapasitas SDM. Prahoro menekankan pentingnya sinergi antara sektor pendidikan, industri, pemerintah, dan media untuk membentuk ekosistem yang mendukung pemahaman publik terkait peluang kerja dalam sektor energi baru dan terbarukan (EBT).

Ia menegaskan bahwa perubahan paradigma dari energi fosil ke energi hijau menuntut kesiapan dari semua pihak, termasuk institusi pendidikan tinggi dan lembaga pelatihan vokasi. "Kita butuh kerja bersama untuk memastikan masyarakat memahami arah dan potensi dari transisi energi ini," ucapnya.

Dalam Human Capital Summit sektor energi yang digelar bulan Juli lalu, BPSDM ESDM memetakan sekitar 3.764 jenis pekerjaan di sektor energi, di mana sekitar 487 di antaranya adalah pekerjaan baru yang muncul akibat transisi ke energi terbarukan. Sisanya adalah jenis pekerjaan lama yang memerlukan peningkatan atau penyesuaian kompetensi.

Maksimalkan Potensi Bonus Demografi Sebelum 2030

Prahoro mengingatkan bahwa Indonesia saat ini tengah berada dalam fase demographic window yang hanya akan berlangsung dalam waktu singkat. Diperkirakan, puncak dari bonus demografi Indonesia akan terjadi pada 2030. Artinya, dalam lima tahun ke depan, Indonesia harus bisa memaksimalkan potensi tenaga kerja produktif agar tidak kehilangan momentum.

"Dalam lima tahun ke depan, kita harus bisa mengambil peluang. Kalau tidak dipersiapkan dari sekarang, kita akan kehilangan momen emas itu," katanya. Ia juga menyoroti rendahnya tingkat pendidikan vokasi di Indonesia. Dari total 140 juta angkatan kerja, hanya sekitar 34 juta yang merupakan lulusan pendidikan vokasi, dan 15 juta lainnya lulusan perguruan tinggi. Ketimpangan ini menjadi hambatan dalam menciptakan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan sektor energi masa depan.

Reformasi Pendidikan dan Sertifikasi Kompetensi Mendesak Dilakukan

Untuk mengatasi ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dan kesiapan tenaga kerja, Prahoro mendorong agar kurikulum di perguruan tinggi dan lembaga pendidikan segera diadaptasi dengan perkembangan sektor energi hijau. Menurutnya, proses pendidikan harus diarahkan pada pembentukan keterampilan teknis yang dibutuhkan langsung oleh pasar kerja energi terbarukan.

"Kita sudah punya peta jenis pekerjaan dan kompetensinya. Tinggal bagaimana perguruan tinggi dan lembaga pelatihan bisa mengimplementasikannya," ujar Prahoro. Sertifikasi juga dinilai penting agar lulusan bisa diakui secara nasional dan internasional. Dengan sistem sertifikasi yang tepat, peluang kerja bisa terbuka lebih luas, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri.

Prahoro menutup dengan menyerukan bahwa seluruh elemen masyarakat harus bergerak bersama. Tanpa kerja sama lintas sektor, transformasi energi tidak akan memberikan dampak optimal terhadap pembangunan tenaga kerja dan ekonomi nasional.

Terkini