Transportasi Pertambangan Jadi Tantangan Besar Capai Target Emisi Nol

Jumat, 01 Agustus 2025 | 10:20:34 WIB
Transportasi Pertambangan Jadi Tantangan Besar Capai Target Emisi Nol

JAKARTA - Dalam upaya mencapai target net zero emission (NZE) atau emisi nol bersih pada 2060, Indonesia masih dihadapkan pada tantangan besar dari sektor energi, khususnya pertambangan. Salah satu penyebab utamanya adalah penggunaan kendaraan operasional dan alat berat berbahan bakar fosil di area tambang, yang hingga kini masih mendominasi aktivitas harian di lapangan.

Menurut Bisman Bakhtiar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), pertambangan batu bara menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca yang signifikan. Ia menyebutkan bahwa tingginya intensitas produksi tambang serta ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM) menyebabkan sektor ini sulit bertransformasi ke arah yang lebih hijau.

“Setiap tahun produksi tambang batu bara terus meningkat, dan ini tentu berdampak langsung pada kenaikan emisi. Kendaraan dan alat berat masih menggunakan energi fosil dengan jejak karbon tinggi,” ujar Bisman.

Regulasi Transisi Energi Masih Tertunda

Meski pemerintah telah merancang berbagai strategi untuk mendorong transisi energi, proses legislasi untuk memperkuat kerangka hukum belum berjalan optimal. Salah satu kendala utama adalah belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET), yang telah digodok selama lebih dari lima tahun.

“RUU EBET sebenarnya sangat krusial untuk mempercepat adopsi teknologi rendah emisi di berbagai sektor, termasuk pertambangan. Tapi sayangnya, sampai sekarang belum ada kepastian kapan akan disahkan,” tambah Bisman.

Padahal, tanpa kerangka hukum yang kuat, insentif dan kewajiban bagi pelaku industri untuk beralih ke energi terbarukan sulit untuk ditegakkan. Hal ini menghambat berbagai inisiatif yang ingin mendorong elektrifikasi kendaraan tambang dan pembangunan pembangkit berbasis energi bersih di wilayah operasi pertambangan.

Dorongan Elektrifikasi Kendaraan Tambang dan Alat Berat

Sejalan dengan pernyataan Bisman, Ketua Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo), Anggawira, juga menyoroti pentingnya mengalihkan operasional tambang ke arah yang lebih ramah lingkungan. Ia mengatakan bahwa salah satu langkah konkret yang perlu segera dilakukan adalah elektrifikasi alat berat serta kendaraan logistik yang digunakan di area tambang.

“Sudah saatnya perusahaan tambang berinvestasi pada kendaraan listrik atau setidaknya menggunakan bahan bakar alternatif dengan emisi rendah. Kalau tidak dimulai dari sekarang, target NZE akan semakin jauh dari jangkauan,” kata Anggawira.

Selain elektrifikasi, perusahaan juga didorong untuk menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di lingkungan operasional mereka. Hal ini bisa menjadi sumber energi bersih yang tidak hanya mengurangi ketergantungan terhadap BBM, tetapi juga menurunkan biaya energi dalam jangka panjang.

Insentif Pemerintah untuk Perubahan Ekosistem Tambang

Agar transformasi menuju pertambangan berkelanjutan dapat berjalan cepat, Anggawira menekankan perlunya peran aktif pemerintah dalam memberikan insentif fiskal dan kemudahan perizinan. Menurutnya, regulasi yang mendukung transisi energi perlu diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan yang nyata dan operasional di lapangan.

Ia menjelaskan bahwa tambang yang melakukan reforestasi (penanaman kembali lahan bekas tambang), membangun PLTS, atau menerapkan elektrifikasi alat berat, seharusnya mendapatkan insentif pajak, pembiayaan hijau, atau akses prioritas perizinan.

“Kalau pemerintah hanya mengimbau tanpa memberikan kemudahan, maka perusahaan akan terus menunda investasi ke teknologi hijau. Kita perlu insentif yang realistis, bukan hanya wacana,” ujarnya.

Saat ini, beberapa perusahaan tambang besar telah memulai uji coba penggunaan PLTS dan alat berat bertenaga listrik, meski skalanya masih terbatas. Tanpa dukungan insentif dan penyesuaian regulasi, perubahan ekosistem tambang akan berlangsung lambat.

Kesiapan Infrastruktur Jadi Tantangan Tambahan

Selain soal regulasi dan pendanaan, tantangan lain yang dihadapi dalam elektrifikasi transportasi pertambangan adalah kesiapan infrastruktur. Wilayah tambang yang umumnya berada di daerah terpencil memiliki akses terbatas terhadap jaringan listrik yang stabil.

Kondisi ini menyulitkan perusahaan dalam mengoperasikan alat-alat berat bertenaga listrik atau membangun pembangkit energi terbarukan secara mandiri. Oleh karena itu, kolaborasi dengan pemerintah daerah dan penyedia energi diperlukan untuk membangun infrastruktur pendukung seperti jaringan transmisi, charging station, hingga penyimpanan energi.

“Masalahnya bukan hanya teknologi, tapi juga kesiapan kawasan tambang untuk menerima teknologi itu. Tanpa infrastruktur yang cukup, maka akan sulit menjalankan operasional tambang yang ramah lingkungan,” pungkas Anggawira.

Terkini