Batu Bara Masih Diandalkan, Penerapan Teknologi Rendah Emisi Harus Dipercepat

Jumat, 01 Agustus 2025 | 10:16:54 WIB
Batu Bara Masih Diandalkan, Penerapan Teknologi Rendah Emisi Harus Dipercepat

JAKARTA - Di tengah dorongan global untuk beralih ke energi bersih, batu bara tetap menjadi fondasi utama bagi ketahanan energi Indonesia. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, mengungkapkan bahwa saat ini sekitar 67 persen pembangkit listrik di Indonesia masih berbasis Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama.

Dalam forum Indonesia Mining Forum 2025 yang digelar oleh Metro TV pada Kamis, 31 Juli 2025, Sugeng menegaskan bahwa upaya menghapus penggunaan PLTU batu bara secara mendadak sangat tidak realistis. Oleh karena itu, langkah yang paling masuk akal saat ini adalah dengan mempercepat penerapan teknologi rendah emisi guna menekan dampak lingkungan dari penggunaan batu bara.

“Pemerintah harus fokus pada efisiensi dan penurunan emisi melalui teknologi seperti ultra-super critical dan carbon capture storage (CCS), bukan menghentikan operasional PLTU secara langsung,” ujar Sugeng.

Regulasi DMO dan DPO untuk Menjaga Keseimbangan Energi

Dalam menjaga ketersediaan energi di dalam negeri, DPR dan pemerintah menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) sebagai strategi pengamanan pasokan energi nasional. Menurut Sugeng, sebanyak 25 persen dari total produksi batu bara wajib dialokasikan untuk pasar domestik dengan harga maksimal USD 70 per ton.

Kebijakan DMO ini bertujuan untuk menjaga tarif listrik tetap stabil dan terjangkau, terutama bagi sektor rumah tangga dan industri kecil. Sementara itu, DPO berfungsi untuk melindungi pembangkit listrik dan industri dalam negeri dari fluktuasi harga global.

Sugeng menambahkan bahwa DPR akan terus mengawal kebijakan ini agar berjalan efektif dan berpihak pada kepentingan nasional. Ia juga menekankan bahwa pengawasan distribusi dan pelaksanaan DMO harus diperketat untuk mencegah kebocoran pasokan ke pasar ekspor secara ilegal.

Dorongan Hilirisasi Batu Bara untuk Energi Masa Depan

Selain efisiensi pemanfaatan batu bara, hilirisasi juga menjadi salah satu fokus utama yang terus ditekankan DPR. Sugeng menyampaikan bahwa hilirisasi batu bara tidak hanya dapat menambah nilai ekonomi, tetapi juga mendukung target transisi energi nasional.

Beberapa proyek hilirisasi yang sedang didorong di antaranya adalah gasifikasi batu bara menjadi dimetil eter (DME) sebagai alternatif pengganti elpiji, serta pengembangan baterai kendaraan listrik dengan material grafit yang berasal dari batu bara.

Menurut Sugeng, investasi pada sektor hilirisasi batu bara akan membuka peluang kerja baru dan memperkuat kemandirian energi nasional. Selain itu, langkah ini dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil impor dan mempercepat integrasi energi terbarukan.

RUPTL 2025–2034 dan Proyeksi Penambahan Kapasitas Listrik

DPR bersama pemerintah juga telah merancang Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk periode 2025–2034, yang menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69 gigawatt (GW). Dari total kapasitas tersebut, 76 persen direncanakan berasal dari pembangkit energi terbarukan seperti tenaga surya, air, dan angin.

Namun, meskipun fokus diarahkan pada energi baru dan terbarukan, batu bara masih memiliki peran strategis untuk menjamin keandalan sistem kelistrikan nasional dalam jangka pendek dan menengah. Oleh karena itu, teknologi rendah emisi menjadi solusi transisi yang realistis dan mendesak untuk diimplementasikan.

Sugeng juga menyoroti pentingnya investasi pada infrastruktur listrik yang andal, termasuk transmisi dan distribusi yang merata, guna mendukung pencapaian target bauran energi nasional.

Konsumsi Listrik per Kapita Masih Tertinggal

Salah satu indikator yang menjadi perhatian dalam pembangunan sektor ketenagalistrikan nasional adalah konsumsi listrik per kapita. Hingga saat ini, konsumsi listrik masyarakat Indonesia masih berada pada kisaran 1.300 kWh per kapita, jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Singapura dan Brunei yang telah mencapai lebih dari 9.000 kWh per kapita.

Kondisi ini menunjukkan bahwa akses dan pemanfaatan energi listrik di Indonesia masih belum merata dan belum optimal. Sugeng mengingatkan bahwa peningkatan konsumsi listrik per kapita menjadi indikator penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Dalam konteks ini, peran batu bara sebagai penopang utama pasokan listrik nasional masih sangat dibutuhkan. Namun, di sisi lain, pemanfaatan energi fosil tersebut harus dibarengi dengan penerapan teknologi yang lebih ramah lingkungan serta strategi jangka panjang menuju transisi energi yang berkelanjutan.

Terkini