Ganjil Genap Aktif Lagi: Saatnya Warga Jakarta Evaluasi Gaya Mobilitas

Selasa, 19 Agustus 2025 | 14:22:04 WIB
Ganjil Genap Aktif Lagi: Saatnya Warga Jakarta Evaluasi Gaya Mobilitas

JAKARTA - Setelah libur Hari Kemerdekaan ke-80 RI, aturan ganjil genap kembali diberlakukan di Jakarta pada Selasa, 19 Agustus 2025. Bagi banyak pengemudi, ini bukan sekadar aturan harian, tetapi pengingat bahwa sistem mobilitas di ibu kota masih belum benar-benar efisien—dan butuh partisipasi semua pihak untuk berubah.

Meski hanya sehari ditiadakan karena cuti bersama, efek dari pembebasan sementara aturan ini langsung terasa: lalu lintas menjadi lebih padat, kemacetan meningkat. Kini, ketika ganjil genap diaktifkan kembali, warga dihadapkan pada kenyataan bahwa kendaraan pribadi bukan satu-satunya cara untuk bergerak di kota metropolitan ini.

Ganjil Genap Bukan Sekadar Aturan, Tapi Alarm untuk Berubah

Kebijakan pembatasan kendaraan berdasarkan nomor pelat ganjil atau genap yang diterapkan pada hari kerja antara pukul 06.00–10.00 WIB dan 16.00–21.00 WIB bukan semata untuk mengurai kemacetan. Lebih dari itu, kebijakan ini adalah upaya mengatur ulang ritme kota yang terlalu berat dijejali kendaraan pribadi.

Warga pun didorong untuk berpikir ulang: apakah penggunaan kendaraan pribadi benar-benar satu-satunya solusi? Atau justru menjadi bagian dari masalah?

Transportasi Umum: Alternatif yang Semakin Relevan

Pemerintah DKI Jakarta mendorong masyarakat beralih ke transportasi umum seperti MRT, LRT, TransJakarta, hingga KRL. Selain lebih ramah lingkungan dan hemat biaya, opsi ini juga menghindarkan dari risiko tilang elektronik, yang kini semakin canggih dengan dukungan kamera ETLE di berbagai titik.

Dalam sistem ganjil genap ini, hanya kendaraan berpelat ganjil seperti 1, 3, 5, 7, dan 9 yang bisa melintas di ruas tertentu di tanggal 19 Agustus. Sementara pelat genap harus menghindari 26 titik jalan utama, seperti Jalan Sudirman, Thamrin, Rasuna Said, Gatot Subroto, dan lainnya.

Warga Diajak Lebih Bijak Menyikapi Mobilitas

Kepatuhan terhadap kebijakan ini bukan hanya soal menghindari sanksi hukum. Denda hingga Rp500 ribu atau kurungan dua bulan mungkin cukup jadi efek jera, tapi esensi lebih dalamnya adalah soal membangun kesadaran kolektif untuk menciptakan kota yang lebih tertib, sehat, dan manusiawi.

Mengatur waktu keberangkatan, memilih rute alternatif, atau bahkan berbagi kendaraan (carpool) menjadi langkah kecil yang bisa berdampak besar jika dilakukan secara masif.

Saatnya Ubah Cara Pandang

Jika sebelumnya ganjil genap dianggap sebagai gangguan, kini waktunya menjadikannya refleksi. Kota ini bukan hanya butuh infrastruktur, tetapi juga perubahan perilaku penggunanya. Polusi udara, kepadatan lalu lintas, dan stres berkendara adalah harga yang dibayar karena terlalu bergantung pada kendaraan pribadi.

Kendaraan listrik, angkutan umum, serta moda mikro seperti sepeda dan skuter bisa menjadi bagian dari solusi, terlebih jika ditopang regulasi yang adil dan konsisten.

Terkini