Dieng Festival Kembali ke Budaya

Jumat, 22 Agustus 2025 | 13:53:30 WIB
Dieng Festival Kembali ke Budaya

JAKARTA - Tanpa hingar-bingar konser besar atau penjualan tiket umum seperti tahun-tahun sebelumnya, Dieng Culture Festival (DCF) XV tahun 2025 justru hadir dengan pendekatan berbeda. Festival yang digelar pada 23–24 Agustus ini kembali pada esensi awalnya budaya dan spiritualitas lokal dengan mengusung tema “Back to Culture.”

Sebagai acara inti, sebanyak delapan anak berambut gimbal akan menjalani ritual ruwatan di Kompleks Candi Arjuna, Banjarnegara, Jawa Tengah. Prosesi ini menjadi simbol spiritual yang sangat dinanti dalam perhelatan budaya tahunan masyarakat Dieng.

“Peserta ruwatan tahun ini tidak hanya dari sekitar Dieng, tetapi juga ada yang berasal dari Batang, Yogyakarta, dan Jakarta,” ungkap Alif Faozi, Ketua Pokdarwis Dieng Pandawa.

Kembali pada Akar Budaya Lokal

Panitia DCF XV memang sengaja tidak menyertakan program populer Jazz Atas Awan dalam agenda tahun ini. Sebagai gantinya, pengunjung diberikan kesempatan merasakan budaya Dieng lebih dalam melalui akses ke pertunjukan dengan membeli paket suvenir eksklusif. Paket tersebut berisi batik Gumelem, cendera mata khas Dieng, dan tanda pengenal untuk masuk ke lokasi-lokasi acara terbatas.

Sebanyak 3.000 paket suvenir yang disediakan pun langsung ludes terjual. Meski demikian, masyarakat tetap bisa menikmati sebagian pertunjukan yang dibuka untuk umum secara gratis.

Rangkaian festival dibuka pada Sabtu pagi (23 Agustus) dengan kegiatan Dieng Bersih, yaitu jalan sehat sambil memungut sampah. Acara dilanjutkan dengan pembukaan resmi, Kongkow Budaya bersama budayawan Ahmad Tohari dan perwakilan Kementerian Kebudayaan, hingga orkestra Dieng Symphony dan pelepasan lampion pada malam hari.

Ruwatan dan Kirab Budaya Jadi Puncak Acara

Hari Minggu, 24 Agustus menjadi puncak DCF XV. Kirab budaya digelar dari rumah pemangku adat menuju Pendopo Soeharto Whitlam, diikuti oleh 130 peserta dari berbagai daerah yang mengenakan pakaian adat masing-masing.

“Kirab budaya ini juga diikuti delapan anak berambut gimbal yang akan menjalani jamasan dan ruwatan,” ujar Alif.

Ritual ruwatan anak gimbal selalu menjadi magnet utama DCF. Tradisi ini dipercaya sebagai bentuk pembersihan dan pengembalian anak-anak dengan rambut gimbal ke kehidupan yang lebih seimbang secara spiritual dan sosial. Rambut gimbal yang dimiliki mereka dianggap sebagai titipan alam, dan tidak boleh dipotong sembarangan tanpa melalui prosesi adat.

UMKM, Kuliner Tradisional, dan Lonjakan Pengunjung

Tidak hanya menghadirkan pertunjukan budaya, DCF XV juga menjadi ajang promosi produk lokal. Pameran UMKM digelar di tiga titik, dikelola oleh Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Banjarnegara, Karang Taruna, serta Pokdarwis Dieng Pandawa. Di area Pokdarwis, pengunjung bisa menemukan ragam kuliner tradisional khas Dieng.

Tingginya minat terhadap DCF XV terlihat dari lonjakan permintaan homestay. Di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, tingkat hunian mencapai 98 persen dari total 900 unit. Bahkan, desa-desa sekitar seperti Dieng Wetan di Kabupaten Wonosobo juga mengalami kondisi serupa.

“Kami agak kaget dengan lonjakan permintaan. Padahal jumlah homestay terus bertambah, tapi tetap penuh menjelang festival,” kata Alif.

Meskipun tahun ini festival tampil lebih sederhana dan tanpa pertunjukan musik besar, animo masyarakat tetap tinggi. Penyelenggara yakin bahwa pendekatan kembali ke budaya ini justru memperkuat identitas dan makna dari Dieng Culture Festival.

“DCF tahun ini mengusung tema Back to Culture. Pergelaran Jazz Atas Awan akan kami siapkan di lain waktu,” pungkas Alif.

Festival yang dulunya dikenal dengan gabungan budaya dan hiburan kini menekankan keaslian, menjadikan Dieng bukan hanya tempat wisata, tapi juga ruang untuk meresapi spiritualitas dan kekayaan budaya tanah tinggi Jawa.

Terkini